FKPA Kab. Bandung

Senin, 21 Mei 2012

REFLEKSI 7 TAHUN DAN RESTORASI KE IV FKPA KAB. BANDUNG

GELAR BUDAYA HEJO HULU SUNGAI CITARUM


7 Tahun buka waktu yang singkat yang telah kita lalui . . .keringat telah mengguyur setiap semangat yang kita bakar, bahkan hingga saat ini kita berkumpul ditengah api unggun . . masih banyak kegelisahan-kegelisahan yang menguat hampir menjadi ketakutan meratapi gejolak yang ada di dunia ini.
dengan semangat dalam diri dan kepalan tangan menghadap ke muka dirasa masi mampu untuk menjawab semua kegelisahan manusia yang telah beranjak takut akan kehancuran alam ini.
saru tekad..satu tujuan ....Selalu Dihati ...

Milangkala FKPA Kab. Bandung
15-20 Mei 2012
Situ Cianti


Minggu, 22 April 2012

HARI BUMI 2012


 EARTH DAY 22 APRIL 2012

Salam Lestari,

kami prihatin terhadap fakta kerusakan sungai di Citarum mengacu pada evaluasi dan Hasil pelaksanaan Pemantauan Kualitas Air bahwa sungai kita ini masuk kategori tercemar berat
Selain pencemaran, kita juga merasa prihatin dengan semakin hilangnya sumber-sumber mata air di kawasan Hulu terutama telah terjadi pengurangan luas hutan. Penurunan luas hutan ini diyakini menurunkan jumlah mata air yang ada di Hulu DAS Citarum.


Kerusakan Hutan
Melalui Acara ini kita juga ingin menyampaikan Keprihatinan hati kawan-kawan bahwa Penebangan hutan besar-besaran menyebabkan tanah di lereng semakin lama tidak terlindungi. Awalnya dimulai dengan kekeringan, berkurangnya mata air dan terjadi peningkatan aliran air permukaan yang akan diikuti peningkatan intensitas erosi tanah permukaan yang bisa mencapai ribuan kali lipat. Air permukaan mengerosi tanah dan akan membawa tanah ini masuk ke badan sungai sehingga terjadi sedimentasi. Sedimentasi akan mendangkalkan sungai sehingga saat turun hujan berikutnya alur sungai tidak muat dan air akan meluap sebagai banjir. Dampak penggundulan hutan yang paling mengerikan adalah terjadi longsor dan diikuti banjir bandang. Waktu-waktu berikutnya terjadi pengurangan separo lebih dari jumlah sumber air (mata air) dan peningkatan intensitas bencana erosi, longsor, banjir, banjir bandang dan angin puting beliung.
Penggundulan hutan juga mengakibatkan berkurangnya habitat bagi fauna-fauna yang dulunya tercukupi makanannya menjadi berkurang sehingga untuk kelangsungan hidup fauna-fauna tersebut,”mereka” bermigrasi mencari habitat baru yang saat ini sudah digunakan sebagai permukiman. Kalau kita tidak segera melakukan tindakan-tindakan bijak maka dikhawatirkan penghuni berukuran mikro seperti bakteri dan atau virus akan turun mencari habitat baru di permukiman sehingga akan menimbulkan masalah besar di kemudian hari.
Dampak sistemik pencemaran Sungai berupa punahnya beberapa jenis ikan. Dampak lainnya yang dirasakan adalah berubahnya fungsi sungai sebagai tempat sampah dan sungai sebagai WC (toilet) umum karena lemahnya implementasi kebijakan pengelolaan Sungai Oleh Pemerintah.
Semua peradaban di Bumi ini umumnya dimulai dari sungai, karena sungai adalah sumber peradaban. “Beradabnya sebuah bangsa tercermin bagaimana Negara memperlakukan dan mengelola Sungainya”.
Kami menilai bahwa hal ini adalah bentuk kelalaian Pemerintah yang gagal mengelolah sungai kegagalan pemerintah untuk menjaga kelestarian dan fungsi ekologis Ekosistem Sungai sehingga menciderai hak-hak generasi yang akan datang untuk menikmati ekosistem sungai yang ada. Sebagai Warga Negara kita mendorong pemerintah untuk melakukan Kerja kongkret untuk mengembalikan fungsi ekologi Sungai Citarum melalui KAMPANYE PEMULIHAN SUNGAI Citarum.

Bentuk-bentuk kegiatan yang bisa kita lakukan dalam kampanye ini adalah :
1. Menentukan dan menetapkan daya tampung beban pencemaran  sungai yang telah di pantau sebagaimana amanat PP 82/2001 tentang pengelolaan kualitas air dan pengendalian Pencemaran air.
2. Menetapkan melalui perda tentang Pengelolan Sungai Citarum.
3. Melakukan upaya pemulihan kualitas air Sungai Citarum melalui relokasi sumber pencemaran domestik dan industri (manufaktur, industri Kehutanan dan tambang) yang memberikan kontribusi besar kerusakan sungai Citarum
4. Moratorium pencemaran sungai.
5. Menggunakan parameter pemantauan kualitas air yang mudah, murah dan dapat dilakukan secara massal seperti menggunakan makroinvertebrata dan serangga air serta ikan sebagai indikator kualitas air.
6. Memulihkan ekosistem Sungai Citarum yang mengalami pencemaran dan kerusakan agar dapat kembali berfungsi secara ekologis untuk mendukung kehidupan keanekaragaman hayati di Sungai Citarum.
 7. Mengusulkan Penetapan Ketahanan Air sebagaimana Ketahanan Energi dan Ketahanan Pangan sehingga bisa diprioritaskan dalam perencanaan pembangunan ke depan. Harapannya segera diikuti rencama aksi, salah satunya penetapan kawasan RESAPAN MUTLAK yg hanya digunakan untuk hutan, hutan dan hutan.
”Hutankan gunung selamatkan air, selamatkan tanah, selamatkan biomassa, selamatkan ekosistem dan selamatkan masa depan”
8. memasukkan masalah pengelolaan sungai kedalam kurikulum Sekolah/mengintegrasikan, hal ini menjadi tanggungjawab pemerintah untuk memberikan informasi dan pendidikan kepada anak/pelajar

Sabtu, 11 Februari 2012

GELAR BUDAYA DAN OPERASI SAMPAH

Salam Lestari .!
Puji dan Syukur semoga kita panjatkan kepada Allah Swt, yang telah memberikan nikmat dan kekuatan untuk senan tiasa memberikan hidayahnya disetiap perjuangan kita..
Shalawat Serta salam selalu tercurah limpah kepada Nabi Muhammad SAW.


Sebuah perjuangan tiada henti didalam menjaga kelestarian alam dan budaya kami lakukan tiada henti dengan sebuah harapan mimpi besar akan kita gapai kelak.
Gelar Budaya dan Operasi Sampah yang di Gelar Forum Komunikasi Pecinta Alam (FKPA) Kabupaten Bandung khususnya Koordinator Wilayah III dan IV sebagai pelaksana.

Kegiatan diawali pembukaan oleh pihak Muspika, TNI dan Polri sebagai pembuka kegiatana dilanjutkan dengan pembersihan sampah di seputaran Alun-alun Ciparay dan sekitarnya, selain daripada itu Rombongan Korwil IV berjalan sejauh 7 KM menyusuri Jalan Laswi Ciparay Majalaya dengan tujuan sama yaitu membersihkan sampah yang berserakan dan sampah yang sengaja ditempel di pohon-pohon se
panjang jalan Laswi tersebut baik itu berupa Poster Komersil maupun poster promosi Sekolah / Lembaga Pendidikan.

Dalam Kegiatan tersebut, tak kurang dari 1,5 Kwintal sampah yang menempel d pohon sejauh jalan laswi terkumpul dan terkonsentrasi di tempat yang menjadi puncak kegiatan yakni Alun-Alun Kota Ciparay. ironis memang pohon yang semestinya diberikan perlakuan khusus bagi kita pada kenyataanya banyak dimanfaatkan oleh segelintir orang yang mempunyai maksud tertentu baik komersil maupun promosi, Ulah dari penempelan spanduk-spanduk dan baligo tersebut sudah jelas mengganggu keindahan dan kenyamanan pandangan kita, terlebih apabila kita melihat dari sisi pohon yang menjadi korban.


Selain kegiatan bersih sampah, kegitan ini di isi pula dengan pentas seni budaya, yaitu mengangkat karya-karya seni Kabuyutan yang perlahan akan punah oleh genderang modernisasi. Dalam kegiatan ini dipentaskan beberapa lingkung seni Karinding yang telah bekerja sama dengan FKPA Kab. bandung, Seni Wayang Golek, Teatrikal Puisi, Musikalisasi puisi oleh Anak (Boni) yang selalu membuat berkarya  dengan sudut pandang  untuk lingkungan hidup.

Dari deretan acara tersebut diharapkan peran aktif seluruh lapisan masyarakat didalam menjaga kebersihan dan kelestarian alam serta budaya. karena hal tersebut sangat erat kaitannya dengan kondisi masyarakat pada masa kini baik didalam menyikapi problematika maupun dalam mencari solusi konkrit didalam penyelesaiaannya.

Terima Kasih Kepada

Sekjen FKPA Kab. Bandung
Ketua Korwil III( Erik Ruslan / Rawing )
Ketua Korwil IV ( Krisna / Cinot )
KPA Disetiap Korwil
Camat Kecamatan Ciparay
Danramil
Kapolsek Ciparay
dan Seluruh lapisan masyarakat yang tidak bisa kami sebutkan satu persatu.

Semoga Perjuangan Kita Senantiasa dalam LingdunganNYA. Amin

Minggu, 08 Januari 2012

”POSIBILISME: ANTARA PEMBANGUNAN DAN KONSERVASI ALAM ”

”POSIBILISME: ANTARA PEMBANGUNAN DAN KONSERVASI ALAM ”
Oleh:
Pepep Dw

MAPALA ARGA WILIS
03.2.042.RPJ

Latar Belakang

Pembangunan tak pernah luput dari tuntutannya untuk pengorbanan ‘hal lain’ di tatanan yang berbeda, terutama lingkungan, proses tersebut seperti oposisi biner yang selalu menjadi konsekwensi atas adanya dikotomis dua hal yang konfrontatif. ‘Hal lain’ yang dimaksud adalah konservasi atas lingkungan yang menjadi bidang dalam kepentingan pembangunan, salah satu contoh: pembuatan jalan yang membelah hutan atas dasar kepentingan pembangunan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat yang tidak terjangkau oleh sarana dan prasarana transfortasi, demi kepentingan itu dilakukanlah penebangan hutan yang menjadi rencana jalur jalan tersebut, konsekwensi logis dari pembangunan tersebut adalah hilangnya sebagian habitat alam ‘asli’ pada lingkungan terkait pembangunan tersebut. Sustainable development memang cenderung terlihat fungsional dalam jangka pendek, tapi dilain pihak kerusakkan yang terjadi secara tidak disadari menuntut konsekwensi atau dampak/efek negatif bagi kehidupan dimasa yang akan datang. Seyogyanya memang segala bentuk pembangunan harus selalu berdasarkan atas pertimbangan jangka panjang dalam perspektif lingkungan, namun pada kenyataannya pembangunan selalu dikotomis dengan konsep konservatif, sepertinya keseimbangan yang diidam-idamkan tersebut hanya sebatas perdamaian antara pembangunan dan konservasi? Jika demikian, dimasa yang akan datang ketika pembangunan hidup selaras dengan lingkungan maka kesejahteraan bukanlah menjadi hal yang ada dalam mimpi belaka. Tapi benarkah pembangunan dilakukan atas dasar kemauannya sendiri?.
Pembangunan berkelanjutan memang tidak berdiri dan berjalan sendiri, dibelakangnya selalu ditunggangi peran serta industri –terutama kapital– yang selalu menuntut lahan baru dalam berekspansi. Hal tersebut dapat dibuktikan atas adanya kerusakan hutan yang terjadi akibat pembukaan lahan secara masif guna kepentingan lahan baru industri, seperti beberapa data dalam laporan LSM yang menyebutkan “setidaknya 72% hutan asli Indonesia telah musnah (WRI 1998)”, juga Studi Bank Dunia terbaru menyebutkan bahwa tingkat laju penurunan hutan atau deforestasi di Indonesia mencapai luas 2 juta hektar per tahun sejak tahun 1996, (Majalah Tanah Air: 2002 hal 1), ‘bencana’ tersebut tidak lain adalah untuk memenuhi kepentingan dari perusahaan-perusahaan (industri) raksasa berskala besar. Beberapa laporan tersebut hanyalah satu dari ribuan kasus yang masih berserakan yang tidak kunjung selesai, seperti pencemaran dan privatisasi air, pembakaran hutan, pengelolaan sampah dan masih banyak persoalan lingkungan lainya yang selalu menjadi ‘pekerjaan rumah’ bagi penerus bangsa dimasa yang akan datang, belum lagi hal-hal yang bersifat ancaman global seperti global warming dan sebagainya. Diskursus tentang lingkungan hidup pun tidak sebatas permasalahan hutan saja, pengertian lingkungan hidup masih terlalu sangat luas untuk menjadi tema pembahasan, artinya dalam pembahasan kedepan permasalahan lingkungan hanya akan dipersempit sebatas pengertian horizontal interaksi kausalis antara manusia dengan manusia dan alam (dalam arti geologi).
Kembali kepada persoalan kerusakan lingkungan yang terjadi, jika melihat estimasi tahun terjadinya kasus-kasus yang cukup signifikan, kasus-kasus tersebut terjadi pada masa transisi masyarakat dari agraris menuju masyarakat industri, estimasi tesebut terbukti dengan adanya kasus ekspolitasi hutan (kayu) pada era 60an, pada waktu itu krisis politik dan ekonomi yang dramatis membawa pemerintah memulai sebuah rencana sistematis untuk mengembangkan ekonomi Indonesia (ibid, 2002:4-5), maka untuk meningkatkan peran industri dalam memperbaiki sektor perekonomian langkah-langkah tersebut di atas diambil. Tanpa bermaksud mengambinghitamkan industri, lagi-lagi pembangunan tesebut nyata-nyata membawa dampak yang cukup parah dan pihak yang menjadi tersangka adalah pembangunan dan industri, hari ini persoalannya bukan berarti mencari cara bagaimana mengembalikan masyarakat Indonesia kepada masa lalu yang jauh dari industri, tetapi justru mencari jalan ‘mendamaikan’ industri (pembangunan) terhadap keharmonisan alam (lingkungan).
Yang menjadi ide untuk menganalisa fenomena tersebut adalah bagaimana masyarakat lokal dalam menyikapi lingkungan, melihat kehidupan ini telah berjalan jauh-jauh hari sebelum terciptanya pemerintahan, birokrasi formal, rasionalitas, pragmatis, teknologi dan perang ideologi seperti diungkapkan sebagian oleh Adorno dan Max Horkheimer , kesemuanya itu tidak lain adalah produk dari masyarakat modern yang lagi-lagi mengharuskan kita –untuk kembali ‘menjebak’ diri– mempersoalkan konsep oposisi antara masyarakat modern dan tradisi (primitif atau lokal) . Mampuhkan kita sebagai masyarakat modern mensintesa kedua konsep yang selalu berkesan konfrontatif antara: modern dengan tradisi (lokal), pembangunan dengan konservatif?. Masyarakat modern dianalogikan sebagai masyarakat yang panas (hot society) yang selalu gelisah mencari hal-hal baru untuk mengejar apa yang disebut progresivitas, sementara masyarakat tradisi (primitif) dianalogikan sebagai masyarakat yang dingin (cold society) yang hidup dalam lingkaran pengulangan-pengulangan (lihat, Ahimsa Putra, 1997), adakah hal yang bersifat substansi pada masyarakat tradisi yang dapat diadopsi kedalam kehidupan masyarakat modern? Disatu sisi lain, pembangunan selalu meminta pengorbanan sementara konservasi mempertahankan, mampukah pembangunan ‘tunduk’ pada konservasi? Pendekatan budaya baru-baru ini populer dijadikan analisis dan bahkan episteme dalam menjawab berbagai pesoalan, terutama masalah lingkungan. Beberapa organisasi yang konsen dalam bidang lingkungan pun secara implisit sudah mulai mencoba menerapkan pendekatan sosial budaya.

Masyarakat Tradisi dan Lingkungan

Konsep lingkungan dalam arti ruang dalam dunia antropologi struktural dikenal dengan istilah kosmologi, sebagaimana yang dijelaskan lynch (2000) “kosmologi adalah suatu pandangan dunia (wordview) dalam skala besar atau pemahaman individu mengenai duniannya atau ruang tempat mereka hidup dalam memahami cara dunia itu tersusun dan bekerja dalam alam semesta” . Masyarakat barat menempatkan alam sebagai sesuatu yang dikuasai (manusia menguasai alam), implikasi dari penerapan konsep tersebut membawa pemahaman bahwa alam ada untuk dieksploitasi manusia dan secara implisit mengonstruksi kelahiran teknologi dan ilmu pengetahuan yang implikasinya menciptakan kerusakan alam itu sendiri. Sementara disisi lain penerapan konsep lingkungan dalam masyarakat lokal, terutama yang masuk kedalam rumpun timur, mereka mengenal dengan konsep “berdampingan dengan alam” (manusia selaras dengan alam) artinya segala yang terkandung di alam dianggap sakral tidak boleh dieksploitasi secara berlebihan, melainkan harus memperhatikan dinamika dan perkembangan jagat raya itu sendiri (Kusnaka Adimihardja dan Purnama Salura, 2004), konsep tersebut bisa kita lihat dalam praktik kesehariannya masyarakat Baduy dan beberapa masyarakat di Sumedang Larang yang menyakralkan alam sebagai sesuatu yang harus dihormati, upacara-upacara ritual seperti ngalaksa (seren taun) pada masyarakat Rancakalong di Sumedang menjadi manifestasi atas peng-hormatan tersebut. Dalam masyarakat baduy dikenal dengan pewilahan hutan menjadi 3 (tiga) bagian yaitu: leuweung larangan, leuweung tutupan dan leuweng baladaheun. leuweung larangan adalah hutan yang benar-benar tidak boleh dieksploitasi, leuweung tutupan adalah hutan yang boleh dimanfaatkan secara langsung namun harus melalui izin dari ‘abah’ yang punya wewenang, sementara leuweng baladaheun adalah hutan yang sama sekali dibebaskan untuk digunakan oleh warga setempat (lihat Hazmirullah, harian PR, 7 mei 2007). Implikasi dari konsep pemahaman tersebut membawa kehidupan yang serasi, ‘berdampingan’ dengan alam. Yang terjadi saat ini adalah sebaliknya, paradigma berpikir masyarakat barat dan timur tertukar (meskipun tidak bagi masyarakat timur yang masih hidup di pedalaman), hal itu disebabkan masuknya industrialisasi, modernisasi dan globalisasi yang menjadi pemahaman orang-orang timur. Sementara saat ini, yang mejadi main issue di masyarakat barat adalah bagaimana menyelamatkan lingkungan yang kondisinya semakin parah, pemahaman-pemahaman masyarakat timur diadopsi sedemikian rupa dan mereka terapkan di negara-negara yang justru sedang maju. Hal-hal yang bersifat sakral di negara-Negara timur terkikis lambat laun menjadi suatu hal yang profan sementara di Negara-negara maju kelestarian hutan menjadi suatu hal yang justru sakral atau menjadi sesuatu yang utopis bagi masyarakat. Kita menyadari betul bahwa masyarakat barat begitu inten mempelajari tata cara hidup orang timur, para misionaris dan orientalis menjadi bukti atas adanya paradigma berfikir tersebut. Pergeseran masyarakat Indonesia dari masyarakat agraris menuju masyarakat industri benar-benar telah jauh meninggalkan hal-hal (konsep) yang bersifat fundamental, kebanyakan masyarakat sepertinya alergi dengan segala sesuatu yang bersifat tradisional padahal Negara-negara barat begitu tertarik dengan konsep yang hidup di masyarakat lokal (local genius).
Dengan melihat adanya paradigma tersebut, yang menjadi persoalan sekarang adalah: dapatkah masyarakat Indonesia yang tengah hidup dalam dunia industri (modernitas dan globalisasi) menerapkan konsep-konsep lingkungan sebagaimana masyarakat-masyarakat Indonesia dahulu berinteraksi dengan alam? Dengan cara bagaimana hal tersebut diterapkan? Dengan kata lain mampuhkan pembangunan berkelanjutan tunduk pada konservasi lingkungan?

Beberapa pertanyaan diatas akan dijawab secara objektif dengan melihat masyarakat dari sudut pandang budaya, seperti studi komparasi antara masyarakat modern dengan masyarakat tradisional (primitif) sebagaimana konsep Emile Durkheim dalam melihat masyarakat kedalam empat pilar utama yaitu: the sacred, ritus, klasifikasi dan solidaritas. Benang merah yang menjadi wacana (discourse) dalam kasus ini adalah, bagaimana mengangkat hal-hal yang sakral tersebut menjadi suatu pegangan hidup dalam menyikapi persoalan lingkungan. Di masyarakat tradisional lingkungan pun diselimuti dengan hal-hal yang bersifat sakral sehingga membawa dampak pada terjaganya kelestarian alam (lingkungan), sementara didalam pola hidup masyarakat modern hal hal yang bersifat sakral tersebut dipandang sebagai ‘isapan jempol’ belaka. Masyarakat modern melihat kesakralan dengan sudut pandang rasionalitas, maka pemaknaannya hanya akan melahirkan Sesuatu hal yang kosong (nihilisme) karena berangkat dari anggapan yang skeptis. Lalu dimana letak benang merah yang harus hidup dalam masyarakat modern?. Masyarakat modern adalah masyarakat yang sudah mengenal rasionalisme dan birokrasi, maka salah satu jalan (kalau bukan satu-satunya) yang efektif untuk mencegah penyimpangan-penyimpangan tidak lain adalah penegakan hukum (supremasi hukum). Hukum yang seadil dan sebijaksana mungkin, dengan terlebih dahulu disosialisaikan dengan peran pendidikan sebagai propaganda issu lingkungan pada masyarakat (mengarusutamakan pendidikan yang berbasis lingkungan), merekonstruksi sistem yang berlaku di masyarakat dalam arti mengangkat kembali nilai-nilai lokal (local wisdom) dan pengetahuannya (local genius).
Dengan diimplmentasikannya konsep tersebut maka diharapkan akan terjalin sebuah tatanan masyarakat yang maju dalam hal pembangunan dengan selalu selaras dengan konsep konservasi alam (lingkungan), sasaran utamanya adalah peran serta masyarakat yang mendukung program pembangunan yang berbasis lingkungan seperti konsep yang baru-baru ini diterapkan oleh masyarakat Jepang, yaitu konsep ”machizukuri” dimana peran serta masyarakat setempat menjadi hal yang utama dengan selalu mengedepankan pemikiran tentang lingkungan yang sedapat mungkin diminimalisir dampak negatif dari pembangunan itu sendiri. Namun konsep pemaham lingkungan dalam hal ini bukan berarti masyarakat kita harus dijejali dengan konsep machizukuri seperti pada masyarakat Jepang, penerapan konsep yang dimaksud dalam hal ini adalah menghidupkan pola-pola yang ada pada masyarakat lokal Indonesia untuk disintesa dan diadopsi masyarakat –modern– saat ini.
The Sacred Dalam Possibilisme
Dalam paradigma kebudayaan kita mengenal dua konsep oposisi tentang masyarakat (dalam arti manusia komunal), yaitu masyarakat primitif (atau katakanlah masyarakat lokal/tradisional) dan masyarakat modern (masyarakat perkotaan yang sudah ‘mengonsumsi’ industri dan globalisasi). Dalam konsep masyarakat Durkhemian, masyarakat –yang tak terdemarkasi oleh modern dan primitif– dilekatkan empat konsep yang inheren, keempat konsep tersebut antara lain: the sacred (yang disakralkan), klasifikasi, ritus, dan solidaritas sosial. Johanes Supriono (2005) mengatakan bahwa the sacred merupakan poros utama yang mencakup seluruh dinamika masyarakat . Dari paradigma tersebut kita bisa melihat betapa yang disakralkan itu menjadi hal yang paling penting dalam mengonstruksi sikap hidup masyarakat, yang disakralkan dapat berupa simbol-simbol utama, nilai-nilai yang diagungkan bahkan menjadi kepercayaan (agama dalam arti luas) dan sikap utopis. Dalam konsep lingkungan pun masyarakat mengenal dengan apa yang mereka sakralkan dan dikeramatkan, sehingga kondisi antara alam dengan manusia selalu selaras dan seimbang. Menurut Kusnaka Adi Miharja (2004) dalam konsep antropologi struktural, orientasi masyarakat terhadap lingkungan dibagi menjadi tiga bagian:

Pertama, pada masyarakat yang tingkat sosiobudayanya masih dalam tahap meramu dan mengumpulkan makanan berdasarkan pada kemurahan alam, masyarakat seperti ini berorientasi pada “bahwa manusia tunduk kepada alam” kelompok sosial yang hidup dalam lingkungan alam tersebut pasrah terhadap kekuatan alam yang sebagian orang menyebutnya sebagai yang menganut fatalistik (dogmastis),
Kedua, masyarakat barat yang berpandangan “bahwa manusia menguasai alam” pandangan tersebut menempatkan bahwa manusia menempati jagat raya ini sebagai mahluk yang sangat tinggi dibandingkan dengan mahluk lain (termasuk alam berserta isinya) orientasi seperti ini menurut Kusnaka melahirkan ilmu pengetahuan dan teknologi yang bersifat eksploratif yang justru kemudian, kini menjadi masalah bagi dunia berupa kerusakan-kerusakan yang ditimbulkannya, dengan kata lain orientasi seperti inilah yang dianut masyarakat modern yang mengenal industri dan globalisai. Pada gilirannya justru konsep ini yang diadopsi masyarakat Indonesia sebagai masyarakat peralihan dari masyarakat agraris menuju masyarakat industri.
Pandangan ketiga adalah pandangan masyarakat dibelahan dunia Asia Afrika, Amerika Selatan dan Indian Amerika yang menempatkan “manusia selaras dengan alam”, pandangan seperti ini menekankan keselarasan atau kesatuan harmonis antara alam, manusia, dan Tuhan yang Maha Esa, yang terkandung di alam dianggap sakral, tidak boleh dieksploitasi secara berlebihan, melainkan harus memperhatikan dinamika dan perkembangan jagat raya itu sendiri. Pandangan ketiga ini selaras dengan praktik pola hidup masyarakat lokal Indonesia yang saat ini hanya terjadi atau ada di daerah pedalaman, pola-pola seperti itu pula yang dipraktikan oleh masyarakat Baduy dan Rancakalong di Sumedang (dan daerah lokal lain).

Melihat ketiga orientasi masyarakat dalam menempatkan alam, konsep kedua dan ketiga menjadi representasi masyarakat saat ini, konsep kedua mengenai “manusia menguasai alam” diadopsi oleh masyrakat modern dengan kegiatan praktis, diantaranya pembangunan dan industri, sementara pandangan ketiga tentang “manusia selaras dengan alam” merupakan hasil dari pola hidup masyarakat primitif (lokal/tradisional) sebagaimana dijalankan oleh masyarakat Baduy dan beberapa tempat di Sumedang Larang juga di sebagian besar masyarakat etnis nusantara. Jalan keluar bagi Indonesia (mutakhir) saat ini adalah mensintesis kedua konsep tersebut demi kepentingan sustainable development dan sustainable life. Konkretnya memang saat ini beberapa hal tersebut telah dilaksanakan, seperti dengan adanya konsep hutan lindung di beberapa daerah sebagai representasi dari konservasi dan dibukanya lahan produksi sebagai pemenuhan kebutuhan industri. Namun yang menjadi kendala dan penyebab kurang optimalnya konsep tersebut di lapangan, disebabkan masih banyak ditemukan penyimpangan-penyimpangan dikarenakan beberapa faktor. Seperti beberapa penyebab kerusakan hutan yang dilaporkan media online, yang mengatakan bahwa “ada tiga penyebab kerusakan hutan diantaranya: pertama, kerancuan kewenangan struktural (pemerintahan), kedua, belum terrealisasinya keikutsertaan masyarakat dalam pengelolaan, dan ketiga, belum efektifnya supremasi hukum dilapangan” .
Kasus diatas mengindikasikan, bahwa pada sebagian masyarakat Indonesia saat ini telah hilang satu hal yang menjadi sakral, artinya dalam pemikiran masyarakat sudah tidak ada lagi hal-hal yang diagungkan dan disakralkan baik berupa simbolisme maupun berupa sosok yang dihormati dan dalam hal ini hukum harus mampu menjadi personifikasi dari suatu hal yang dikeramatkan atau disakralkan tersebut, hukum sebagai aturan harus dipahami masyarakat sebagai nilai-nilai utama dan simbol bersama. Pada masyarakat Bali misalnya, hukum menjadi sakral karena selalu koheren dengan adat istiadat dan agama, begitupun di Rancakalong Sumedang dan Baduy, hukum sangat erat kaitannya dengan norma-norma yang disakralkan bersama dan ‘diimani’ bersama. Dengan demikian efektifitas dari penerapan konservasi dan pembangunan terletak pada tiga pilar utama yaitu: Sistem, Kesadaran Masyarakat, dan Hukum, yang merupakan personifikasi dari: Struktur, Masyarakat, dan Yang Disakralkan.
Masyarakat Primitif
(lokal/tradisional) Struktur Pelaku/Agensi
(masyarakat) Yang Disakralkan KESEIMBANGAN
Masyarakat Modern Sistem Pelaku/Agensi
(masyarakat) Hukum

Tabel diatas menjelaskan bahwa pada prakteknya ketiga elemen terpenting diatas selalu menjadi konstalasi yang membentuk hasil akhir yaitu ‘keseimbangan’, baik dalam masyarakat modern maupun dalam masyarakat lokal. Pertama, pada masyarakat lokal maupun masyarakat modern, struktur dan sistem dapat berupa ‘struktur’ terdalam yang tidak disadari (nirsadar) yang membentuk suatu keteraturan (order) yang mengonstruksi tingkah laku manusia, kaum poststukturalis kerap menambahkan hal lain yang mendukungnya seperti kekuasaan (dan habitus?) atau para strukturalis yang berkiblat pada Ferdinand de Saussure dengan kerangka penandaannya (tanda, petanda dan penanda), sistem dalam masyarakat modern bisa berupa tatanan birokrasi dan fungsi dalam penerapannya di masyarakat. Kedua, pelaku atau agensi sebagai individu-individu yang terangkum dalam masyarakat yang menjalankan dan tersusun oleh struktur dan sistem terdalam (abstrak) maupun yang bersifat konkret, agensi ini yang menentukan diri untuk mengatur atau diatur oleh aturan yang memberlakukan tiap agensi, salah satu contoh: apakah seseorang (atau masyarakat) akan melaksanakan ketentuan untuk tidak (katakanlah) memasuki kawasan larangan pada suatu wilayah hutan lindung atau leuweung larangan pada masyarakat Baduy misal. Melaksanakan atau melanggar, sebetulnya bebas-bebas saja (otonom) bergantung pada kehendak si pelaku, hanya, seseorang tersebut harus siap menerima konsekwensi berupa sanksi yang ditetapkan oleh poin tiga pada tabel diatas yaitu hukum (pada masyarakat modern) dan atau dianggap melanggar kesakralan (pada masyarakat tradisional), dalam hal ini yang sakral sangat berkaitan dengan kepercayaan dan keyakinan pelaku pada masyarakat tradional, sementara pada masyarakat modern tentu saja berkaitan dengan supremasi hukum yang berlaku bagi siapapun agensi tersebut yang dianggap melanggar ketentuan atau sistem. Selain dari pada itu yang sakral dalam masyarakat tradisional atau lokal erat kaitannya dengan mitos dan simbol-simbol utama, mitos terbentuk dari suatu hal yang tidak nyata, namun yang paling penting adalah pengakuan keberadaan dan ‘tunduknya’ masyarakat pada mitos tersebut. Dengan penerapan konsep tersebut maka pembangunan dan konservasi akan berjalan dengan harmonis, berdampingan dan menyejahterakan, hal itu bukanlah menjadi suatu hal yang mustahil, karena sebagaimana terangkum dalam pemikiran neoevolusi multiliear atau possibilisme yang menjelaskan bahwa nilai tradisional (lokal) dan modern sebagai dua fenomena sosiobudaya yang berdampingan saling mengisi dan membentuk nilai baru. Pada Negara-negara yang sudah mapan menjalankan konsep tersebut, jarang sekali ditemukan pelanggaran-pelanggaran yang bersifat elementer, justru demi menjaga kelestarian alam di negaranya yang karena ketatnya peraturan, kadang-kadang mereka mencari peluang untuk melakukan penyimpangan (seperti illegal loging) di negara lain yang supremasi hukumnya masih lemah. Namun kedisiplinain semacam itu sebenarnya masih dapat banyak ditemukan dinegara kita, namun kebanyakan bukan di tempat-tempat perkotaan dan pedesaan melainkan di pedalaman-pedalaman suku ‘asli’ yang belum ‘terjamah’ pemikiran modern.


Konfigurasi Sintesa Konsep Lokal Dalam Konteks Pembangunan
Masyarakat lokal pedalaman dan tradisional di Indonesia sebetulnya masih banyak yang melaksanakan konsep konservatif tersebut, salah satu contoh masyarakat Baduy yang memiliki konsep leuweung larangan dalam interaksi manusia dengan alam selain hubungan manusia dengan manusia dan manusia dengan tuhan, di tempat tersebut yang berhak memasuki kawasan adalah orang-orang tertentu yang memiliki wewenang atau orang yang memiliki dan diizinkan untuk memasuki kawasan, yang tepenting dari konsep tersebut adalah menjaga kesakralan lingkungan dari sesuatu hal yang bersifat profan (seperti komersialisasi dan lain-lain) yang secara implisit sebenarnya paradigma tersebut mengonstruksi terhadap penjagaan kelestarian alam sehingga keseimbangan ekosistem tetap terjaga dengan baik dan masyarakat tetap terpenuhi kebutuhan utamanya. Konsep tersebut telah diimplementasikan pemerintah dengan meningkatkan akselerasi pembentukan kawasan hutan lindung, untuk memberikan gambaran nyata kita ambil salah satu contoh kawasan lindung hutan Gede Pangrango yang masuk ke dalam 3 wilayah kabupaten (Cianjur, Sukabumi dan Bogor). Dalam pelaksanaannya setiap masyarakat yang berkunjung dibatasi kuota jumlah pengunjung dan batas teritorial wilayah yang diperbolehkan untuk dikunjungi atau dijamah. Dari konsep tersebut, setidaknya pemerintah mampu meminimalisir dampak negatif yang disebabkan oleh faktor manusia, penegakan aturan hukum pun boleh dikatakan lebih ketat dibanding beberapa kawasan lindung lainnya, hal tersebut adalah akumulasi dari saling mendukungnnya ketiga faktor antara: Sistem, Agensi dan Hukum di tempat tersebut. Disatu sisi, kawasan tetap terjaga dari kerusakan yang fatal, di sisi lain roda perekonomian masyarakat setempat terpenuhi dengan ramainya pengunjung yang mendatangi kawasan tersebut (baik turis lokal, nasional maupun mancanegara), selain dari pada itu dengan terjaganya keseimbangan ekosistem didaerah tersebut, kebutuhan air tetap terjaga dan sampai sekarang belum terdengar kabar bahwa telah terjadi bencana alam longsor yang diakibatkan oleh rusaknya hutan di kawasan gede pangrango (setidaknya setelah menjadi kawasan lindung), dan itu menjadi bukti atas keberhasilan dari konsep sintesis diatas, meskipun beberapa kelemahan masih terasa, namun tidak begitu fatal.

Contoh diatas seyogyanya menjadi studi kasus akan pentingnya penerapan konsep budaya lokal yang diadopsi untuk kepentingan kekinian. konsep konservasi pada masyarakat primitif (lokal/tradisional) adalah tesis, sementara industrialisasi, dan pembangunan berkelanjutan (pada masyarakat modern) adalah antitesis, dan pembangunan yang berbasis konservasi adalah sintesis. Sintesis tersebut adalah bentuk ‘pendamaian’ dengan atau melalui penerapan sesuatu hal yang menjadi benang merah yang bersifat substansi yaitu: struktur/sistem, agensi, dan yang disakralkan/hukum. Dalam penerapannya di masyarakat struktur dan sistem memerlukan dukungan dari disiplin dan konsistensi, sementara agensi/pelaku memerlukan dukungan pengetahuan yang diaktualisasikan melalui pendidikan untuk mencapai kesadaran masyarakat. Terakhir, hukum dan yang disakralkan memerlukan dukungan penegakkan.
Dari beberapa penjelasan diatas didapat konklusi baik dari sisi persoalan maupun jawaban dari permasalahan, konklusi tersebut adalah sintesa dari pemikiran lokal dalam meyikapi lingkungan dengan bagaimana pembangunan dijalankan. Melihat beragamnya penduduk Indonesia, pendekatan budaya bukan berarti menyamaratakan satu konsep untuk digunakan diseluruh masyarakat Indonesia tapi justru mengembalikan pelbagai persoalan untuk dihadapi dengan cara hukum-hukum setempat berlaku, secara eksplisit konsep tersebut sangat erat kaitannya dengan otonomi daerah, setiap daerah dituntut untuk mengangkat kembali konsep-konsep dan pemikiran ‘asli’ masyarakat setempat untuk dijalankan kembali. Akhirnya possibilisme bukan menjadi suatu hal yang mustahil, justru adanya terminologi dan konsep tersebut menerangkan bahwa lokal dan modern itu benar-benar bisa berdampingan, konservasi alam dengan pembangunan dapat berjalan harmonis, dan hal itulah yang menjadi nilai baru yaitu perpaduan antara kegelisahan lokal dengan kegelisahan modern yang melahirkan global wisdom. Semoga.

Selasa, 20 Desember 2011

STRUKTUR ORGANISASI FORUM KOMUNIKASI PECINTA ALAM KAB. BANDUNG PERIODE 2011 – 2013

STRUKTUR ORGANISASI FORUM KOMUNIKASI PECINTA ALAM KAB. BANDUNG PERIODE 2011 – 2013



DEWAN PEMBINA             :    1. Drs. Usman Suherman (Pakubara – SMKN Katapang)
                                                    2. Drs. Sandy (Riksa Bumi – SMAN Rancaekek)
                                                    3. Rd. Iwan Herawantri S. (Cantigi – UNIBA Baleendah)
                                                    4. Agus Deni (Blue Ocean – Majalaya)
                                                    5. Akrur Rozi (PGPI – Cimaung)
                                                    6. Tris (Lacak – Soreang)
                                                    7. Sony (Kapas – Ciwidey)
                                                    8. Risna (Sadawana – SMA KP Baleendah)

DEWAN PENASEHAT      :    1. Rahmattulah
                                                    2. Anton Gumbira
                                                    3. Andri

DEWAN PENGURUS        :   
Ketua Umum                            :    Dani Dardani (Blue Ocean)
Sekretaris                                 :    Triana Sofi (Kepak)
Wakil Sekretaris                        :    Yudi Nurman (Cantigi)
Bendahara                                :    Imas (Kepak)
Wakil Bendahara                       :    Nila Nirwana
Ketua I                                     :    Mistari (Lacak)
(Ciwidey, Pasirjambu,
Soreng, Katapang, Margahyu)
Ketua II                                    :    Agus Rahmat
(Cangkuang, Banjaran,
Pangalengan, Cimaung,
Arjasari, Pameumpeuk)
Ketua III                                   :    Erik (Reksawana)
(Kertasari, Pacet, Ciparay,
Baleendah, Dayeuhkolot)             
Ketua IV                                  :    Anex (Palm)
(Majalaya, Solokanjeruk, Paseh,
Ibun)
Ketua Devisi I Pelestarian Alam dan Lingkungan          :    Wahyudin (Wanapasa)
Ketua Devisi II Sosial dan Kemanusiaan                      :    Roni Megan S.(PGPI)
Ketua Devisi III Pendidikan dan Pelatihan                    :    Ivan (Tapal)
Ketua Devisi IV Seni dan Budaya                               :    Memet Isabahrudin
Ketua Devisi V Perbekalan dan Logistik                      :    Dodi (Ngasruk)

Ditetapkan di Gunung Puntang
Hari Minggu, Tanggal 19 Desember 2010 Jam 02.00 WIB
Pada Musyawarah Besar (MUBES) ke 3
Forum Komunikasi Pecinta Alam Kabupaten Bandung